Huftt...siang ini teramat terik tanah dewata, pulang berolah raga sesekali diperjalanan lirak lirik cari es degan ngelepasin haus yang udah menguras habis tenaga di gym tadi. Seger banget rasanya, dan ternyata aku temukan dipojokan Depo Mitra10 arah putar menuju rumah. Aku pesan 2500 perak segelasnya....basah sela-sela tenggorokanku...Alhamdulillah!! Sesaat hening ku rasa, mata tetap menerawang dalam diiringi degup jantung yang masih belum reda terpacu. Dan mulai otakku nakal menganalisa hal-hal yang mungkin gak penting-penting amat buat dipikirkan, namanya juga iseng, jadi kalo kalian baca coretanku ini gak usah dalem-dalem juga menganalisanya ya....for fun aja!
Bicara tentang... Kebenaran, Kebaikan, dan Keindahan selalu menjadi tiga hal yang membingungkanku. Aku pribadi dan otomatis semua orang suka akan sebuah kebenaran, kebaikan, keindahan, tapi coba sesekali kita tanyakan jauh dalam diri kita masing-masing apa sejatinya yang benar, yang baik, yang indah itu?. Kalo aku menjawab sih, kebenaran adalah yang logis, kebaikan adalah yang etis, keindahan adalah yang estetis? Namun, apakah logis, estetis, etis? Beghh...Pertanyaan-pertanyaan turunan dari tiga hal tadi malah bikin aku tambah bingung lagi, gak peduli udah begitu lamanya aku bahkan kita semua berkutat dengan hal-hal tadi dan melimpahnya informasi. dari kebenaran, apa itu keadilan? Apa agama benar? Apakah sains mutlak? Dari kebaikan, apakah tindakan saya memberi pengamen di jalan itu baik? Apakah bermasturbasi itu jahat, padahal tak ada seorang pun yang dirugikan? Mana yang lebih jahat, berzina suka-sama-suka atau korupsi? Dari keindahan, orang telanjang, seni atau pornoaksi? Bisakah ceceran darah dan kekerasan sekaligus juga indah dan menggetarkan?. Hihihi....bingungkan....sama aku juga!!!
But now, Aku gak mo ngomingin itu, Aku mo bicara tentang yang
enteng-enteng aja, yang gak akan pernah habisnya untuk dibahas, so bagi yang
masih merasa laki-laki normal suka akan hal ini. Meski masih ada keterkaitan
dengan yang aku pikirkan sebelumnya. Tentang turunan dari suatu keindahan: kecantikan. So...Apa itu cantik?
Kalo aku tarik
kesimpulan hampir sebagian atau bahkan kebanyakan
media, termasuk sebagian dari kita, mendefinisikan kecantikan seperti ini : mmm... putih, tinggi, langsing, hidung mancung, rambut lurus
atau sedikit ikal, tulang pipi wajah proporsional (ada juga beberapa anomali,
tetapi ini debatable, tak berlaku
umum. Contoh, apakah Naomi,
supermodel kulit hitam itu, cantik?). Lalu coba kita bikin pengelompokan. Kristen Stewart, Scarlett Johansson, Aishwarya Rai, Angelina
Jolie, Mariana Renata, Dian Sastro, Luna Maya, Kamidia Radisti
itu cantik, sementara Tika Panggabean, Omas, Mpok Nori
itu “kurang cantik”. Di suatu kelompok atau komunitas, misalnya, si Fulanah,
Fulanih, Fulanoh itu kita anggap paling cantik di antara sesamanya. Benarkah
itu?
Trus coba lebih dalam lagi...mmm apakah kata orang Papua atau orang-orang hutan Amazon, yang tak pernah bertemu peradaban modern
dan masih menjadi obyek kajian antropologi, mereka-mereka yang dianggap media
cantik, akan tetap cantik? Cantik mana, bila dibandingkan dengan wanita ras
negroid yang sehari-hari mereka temui, yang masih telanjang dada, berkulit
hitam, berambut keriting?
Aku gak pernah tahu. Tapi aku
bisa yakin, kalau saja mereka kelak punya akses pada televisi, mereka akan ikut
bilang: Megan Fox adalah orang paling cantik sedunia!
Yup...
cantik adalah komoditas, dan tak luput dari rengkuhan kapitalisme. Cantik juga
ditentukan kekuasaan : kekuasaan media, kekuasaan
alat-alat pembiak informasi umum, yang lalu merasuk kepada kesadaran publik,
termasuk juga kepada aku sendiri
dan kalian semua.
Sekarang, aku setuju saja kalau ada yang bilang Amy Adams itu cantik. Bagaimana
dengan inner beauty? Kalau aku
sedang sinis, atau berpikiran negatif, aku
curiga itu cuma penghiburan untuk yang kurang cantik. Atau, untuk yang cantik,
sekedar upaya menunjukkan bahwa ia lebih dari itu (lebih dari yang serba fisik), ia menghargai juga kecantikan hati,
hingga kita berpersepsi : ia rendah hati. Namun tentu saja
bukannya tak ada yang namanya “kecantikan
hati” tadi, dan bukannya aku gak
menghargai. Hanya aku,
itu bukan pembahasan kali ini. Dalam filsafat pun, itu adalah permasalahan
etika, sedangkan kita sedang mencoba membahas tentang estetika.
Balik lagi ke yang tadi…Kecantikan itu dikonstruksikan. Dirancang, disebarkan
pada umum, hingga menjadi ingatan kolektif dalam masyarakat. Tentu saja
mempropagandakan bahwa si ini cantik tak sevulgar seperti propaganda partai ini
baik. (Propagandanya) Berjalan sangat halus, dari sebuah “penguasa” yang
memiliki definisi tertentu tentang kecantikan. Karena mereka berkuasa,
manusia-manusia yang menurut sang penguasa tadi cantik yang memiliki paling
banyak akses ke publik. Maka, akhirnya terjadilah penerimaan publik. Benar,
kita bersepakat bahwa Reva S Temat
itu cantik.
Dalam dunia kita, sekarang dan sejak dulu, “penguasa”-nya adalah ras kaukasoid.
Maka yang diterima umum sebagai yang cantik pun kecantikan khas kaukasoid:
tinggi, langsing, putih, pirang, berhidung mancung, lurus/ikal sedikit. Karena
tak semua ras punya akses untuk menjadi secantik orang kaukasoid (orang melayu,
misalnya, susah sekali punya rambut blonde kecuali yang albino!), ada juga
varian-varian dari yang cantik, tapi tetap ada jejak kaukasoidnya. Dian Sastro
tidak pirang atau tinggi, tetapi putih bersih dan berhidung mancung. Beyonce
Knowles, yang menurut banyak orang adalah wanita kulit hitam paling cantik,
juga memiliki jejak kecantikan kaukasoid itu.
Ini juga dimanfaatkan oleh para pemilik modal. Maka, lakulah produk pemutih,
peninggi badan, salon pelurus rambut, atau bedah plastik. Di kota-kota besar,
makin bertebaranlah orang-orang cantik, atau orang yang tiba-tiba menjadi
cantik.
Akhirnya, kecantikan itu diseragamkan, dan yang tak mau patuh atau yang tak
mampu patuh harus menerima kenyataan dikelompokkan sebagai buruk rupa. Karena
proses sosialisasi kecantikan itu pun menyentuh seluruh jenis kelamin, termasuk
pria, dan kebanyakan pria mementingkan yang serba fisik, maka in a very looooonnnggggg run, yang tidak cantik akan punah. Ia tidak
mendapat jodoh, tak bisa menikah dan bereproduksi, dan tak bisa melahirkan
anak-anak yang mirip seperti dirinya. Dengan kemajuan rekayasa genetis
sekarang, yang kurang cantik namun mampu bertahan mungkin juga akan merekayasa
gennya agar bisa cantik, minimal buat anaknya. Tidak adil buat para wanita? Ah,
sama aja buat cowok juga. Dengan makin mandirinya wanita memilih, konsep
kecantikan juga bisa dengan mudah digantikan dengan “kegantengan”. Pria-pria
kurang ganteng juga akan punah.
Kejam? Kalau kalian seorang Darwinian,
inilah hidup kawan! Inilah seleksi alam. Maka jadilah cantik. Atau tetap ingin
punah? (ampun
dah...!!)
Repot, hidup dalam kuasa penguasa yang serakah dan cengkraman kapitalisme. Di
era globalisasi lagi.
Ide hanya bisa dilawan dengan ide. Apa ide kecantikan menurut kita? Kalau masih
manut aja sama dengan yang “cantik” menurut umum, ya ndak apa-apa juga. Itu
pilihan kalian. Tapi kalau punya ide lain, apalagi jadi mampu dominan,
itu bagus. Karena sudah lama mereka-mereka para “penguasa” itu sendirian.
Jadi, apakah yang tadi dijelaskan itu cantik? Apakah itu kecantikan? Terserah kalian!
Kalau aku ditanya, yang cantik itu yang gimana? Aku akan jawab,“Aku gak ngerti”.
Nanti, kalau udah ketemu dan aku
menyerah, aku akan jawab: oh, yang ini yang benar,
ini yang baik, ini yang indah. Dan yang seperti inilah yang cantik!
Tapi jujur aku
sepakat dengan diriku sendiri....kalau istriku Hanny itu cantik, ibuku Umi
cantik, anak gadisku Nada cantik, sahabat-sahabatku yang cewek juga cantik...,
dengan catatan yang masuk dalam kategori kaukasoid. Hahaha....narsis abiss!!
Dasar kurang kerjaan, perut udah penuh dengan es degan habis 2 gelas,
pikiran udah ngelantur kemana-mana...mmm penting gak sih
tulisan ini??? Terserah kalian.....